Selasa, 24 Juli 2012

Tari Campak

Tari Campak merupakan tari pergaulan muda-mudi  yang menggambarkan keceriaan bujang dan Miak di Kepulauan Bangka Belitung. Tarian ini biasanya dibawakan setelah panen padi atau sepulang dari uma/ (kebun). 

 
Dalam Tarian ini juga menampilkan unsur seni pantun  bersambut  yang  biasanya didendangkan oleh sepasang penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, dengan irama yang khas. Mereka menari diiringi tabuhan gendang, piul/Biola dan gong . Para penari menggunakan selembar saputangan yang dikibas-kibaskan mengiringi lenggok gemulai sang penari. 


Pada saat  tarian ini berlangsung biasanya penonton bebas memberikan saweran kepada “nduk campak” sebutan bagi penari perempuan. Sedangkan penari laki-laki disebut “Penandak”. Setelah memberikan sawerannya  para penonton juga bebas ikut menari bersama para penari.


Dalam perkembangannya, Saat ini  Tari Campak juga sering digunakan sebagai hiburan dalam berbagai kegiatan seperti penyambutan tamu atau pada pesta pernikahan di Kepulauan Bangka Belitung. 


 
Tari Campak Bangka Belitung juga memiliki bermacam ragam jenis diantaranya Campak Darat dan Campak Laut, kedua itu memiliki karakteristik dan ke khasannya masing masing.
Tari Campak berkembang pada masa pendudukan bangsa Portugis di Bangka Belitung......


"Cintai Negerimu, Kenali Budayamu"

By.Wanda Sona Alhamd

Senin, 23 Juli 2012

Masjid Jami' Dan Kelenteng Kung Fuk Min(Muntok), Simbol Kerukunan umat beragama di Negeri Serumpun Sebalai



Kedua bangunan bersejarah ini terletak di Kampung Tanjung, Kecamatan Muntok, tidak jauh dari pelabuhan lama.Masjid Jami' merupakan Masjid pertama di Muntok, didirikan pada periode Kolonial/ 1879 M/1300H oleh Batin Muntok yang dibantu oleh masyarakat setempat, termasuk orang-orang Cina Kaya yang sebagian telah masuk Islam dan Mayor Chung A Thiam. Bangunan bergaya kolonial ini memiliki atap 2 tingkat yang menyerupai atap tumpang seperti pada masjid-masjid kuno di Jawa.  


 Mesjid Jami'Muntok yang hanya di pisahkan oleh jalan setapak dengan Kelenteng Kung Fuk Min



Masjid ini berdiri diatas lahan wakaf dari Tumenggung Arifin dan H. Muhammad Nur seluas 7.500 M2. lokasinya persis bersebelahan dengan Kelenteng Kung Fuk Min. Hingga kini kedua bangunan bersejarah ini dalam keadaan terawat dan masih menjalakan fungsinya masing-masing yakni sebagai tempat ibadah umat Islam dan Umat Tionghoa.


photo14Sebelum Masjid dibangun, Kelenteng telah lebih dulu dibangun oleh orang-orang Cina dari suku Kuantang dan Fu kien yan telah lama menetap di Muntok pada 1820. Kelenteng ini merupakan kelenteng Cina pertama di mentok dari Mayor A Tiom. Kompleks Kelenteng terdiri dari 3 buah bangunan dengan bangunan utama berada di tengah. Bangunan utama memiliki atap berbentuk pelana. Komponen lain dari bangunan adalah gapura utama, pagar keliling, halaman, pagoda dan arca Singa. Kelenteng ini pernah direnovasi pada Februari 1977.


"cintai negerimu kenali budayamu"
By.Wanda Sona Alhamd

Minggu, 08 Juli 2012

Nahwand Sona Alhamd: Penjaga Musik Tari Tradisi Bangka

Lahir: Bangka, 21 November 1982
Istri: Juwita Handayani,SE
Pencapaian:
- Penata musik terbaik Festival           
 Serumpun Sebalai, 2004, 2005, 2006
- Penata musik  tari Pencak Kedidi, dipentaskan di Belanda, 2011

Deretan tanda penghargaan dipajang di ruang tamu rumahnya di pinggiran Sungailiat, Bangka. "Pentas luar negeri saya terakhir di Pasar Malam Indonesia 2011 di Belanda. Saya membuat musik untuk tari tradisi Bangka yang dipentaskan," ujar Nahwand Sona Alhamd.

OLEH KRIS RAZIANTO MADA
http://cetak.kompas.com/read/2012/06/14/03443060/penjaga.musik.tari.tradisi.bangka
     Untuk pentas di Belanda, Wanda, panggilannya, membuat karya baru sebab tari Pencak Kedidi yang dipentaskan itu nyaris punah. Kala itu hanya tersisa satu penari dan tidak ada pemusiknya sama sekali.
     "Saya meramu ulang musiknya setelah memperhatikan gerak tari dan mendengarkan penjelasan penari aslinya,"ujar Wanda, penggiat Sanggar Kite di Sungailiat.
     Karyanya juga melanglang sampai Malaysia dalam Pentas Gendang Nusantara 2001. Dalam beberapa kali Festival Serumpun Sebalai di Kepulauan Bangka Belitung (Babel), ia mendapat penghargaan sebagai penata musik tari terbaik.
     Wanda juga pernah unjuk kebolehan di berbagai provinsi di luar Babel. Dari berbagai ajang itu, ia menyabet beberapa penghargaan. Semua itu. katanya, karena suka seni tradisi saja.
     Wanda juga menciptakan lagu-lagu berlirik bahasa Bangka. Dia bergiat di Sanggar Kite yang diasuh ayahnya, Baidjuri Tarza, pemusik dan pencipta lagu Bangka dan Lawang Budaya. Sedangkan Sanggar Lawang Budaya diasuhnya bersama sang istri, Juwita Handayani. 
     Di Lawang Budaya, ia mengenalkan musik dan tari tradisi kepada sekitar 100 anak asuhnya. Mereka terdiri dari murid SD dan mahasiswa. "Jangan tanya soal bayaran. Anak-anak mau rutin berlatih saja sudah membuat saya bersyukur. Saya hanya berharap seni tradisi Bangka semakin banyak digemari," ujarnya.
     Wanda mengaku tidak enak jika ditanya soal bayaran. Sanggar itu mendapat bantuan Rp 200.000 per bulan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bangka. Tentu dana sebesar itu tidak cukup untuk sekadar biaya operasional sanggar. Apalagi, jika disebut sebagai bayaran atas jerih payah Wanda dan istrinya.
     Untuk operasional, terkadang orangtua asuhnya berganti iuran. Kadang Wanda mencarikan kesempatan pentas di acara pernikahan. "Masih ada orang Bangka ingin mendengar musik tradisi di acara pernikahan. Memang belum tentu ada permintaan pentas setiap bulan. Tetapi, itu salah satu peluang pasar seni tradisi," ujarnya.
Sejak SD
     Sejak kecil, Wanda berkeinginan mendalami seni tradisi. Sejak duduk di sekolah dasar, ia sudah mengoleksi penghargaan berbagai bidang seni dari kompetisi menyanyi, deklamasi, dan berpuisi. "Waktu SMP, saya semakin intensif menekuni musik tradisi. Keluarga saya kebetulan bergiat di seni tradisi," ujarnya.
     Ayahnya, Baidjuri, mengajari Wanda memainkan aneka alat musik perkusi gendang ibu dan gendang anak, rebana, serta jimbe. Wanda juga dilatih memainkan dambus, sejenis gitar tradisional bangka. Latihan itu menjadi bekalnya di kemudian hari sebagai pemusik dan pencipta lagu daerah Bangka.
    Dengan bekal itu pula, ia terpilih menjadi anggota rombongan duta budaya Sumatera Selatan, provinsi induk Bangka, hingga tahun 2000. Ia antara lain menjadi pemain musik tradisi untuk rombongan yang pentas di Bali. "Waktu itu saya masih SMA. Namun, komunitas seni di Palembang sudah menerima saya sebagai bagian dari mereka," ujarnya.
     Komunitas seni yang didukung pemerintah setempat sebenarnya menyediakan fasilitas cukup bagi Wanda untuk berkarya di Palembang. Setidaknya, ia mendapat biaya sekolah dari hasil berbagai pentas di Palembang. Ia kerap dilibatkan dalam berbagai tari dan musik tradisi sebagai wakil Sumsel. "Di Palembang memang ada kesempatan saya menggali lebih dalam potensi sebagai pemusik tradisi," ujarnya.
     Meskipun demikian, ia akhirnya memilih kembali ke Bangka setelah terbentuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dari ayahnya, Wanda tahu ada banyak tari tradisional tak dipentaskan lagi karena ketiadaan pemusik untuk mengiringinya. Ia juga mendengar tidak banyak orang mau menciptakan lagu dalam bahasa Bangka.
     "Bagi saya, itu peluang besar berkarya. Saya sudah dimodali keterampilan bermusik oleh orangtua," ujarnya.
     Sebagai pelaku seni, ia ditawari menjadi tenaga honorer di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Babel. "Saya terima itu karena berpikir sebagai pegawai dikbud akan bertugas mengurus seni saja," ujarnya.
     Sayang, perkiraan  itu sama sekali berbeda dengan kenyataan. Sebagai pegawai honorer, ia malah disibukkan dengan tugas yang sama sekali tidak berkaitan dengan seni.
     "Saya malah diminta mengantar surat atau menjemput keluarga atasan. Hampir tidak ada waktu berkreasi," ujarnya.
     Suasana itu berseberangan dengan fakta di Palembang dan harapannya saat kembali ke Bangka. Di Palembang, ia benar-benar fokus berkarya. Biaya sekolah dan biaya hidup didapat dari berbagai aktivitas seni. Sebagai anggota komunitas seni di Palembang, tugasnya memang benar-benar berkarya saja. "Saya tidak mendapatkan itu setelah pindah ke Bangka," ujarnya.
     Karena itu, ia memutuskan berhenti menjadi pegawai honorer. "Untuk mendapat penghasilan, saya menjadi pelatih tari di berbagai sekolah. Saya ingat hanya dibayar Rp 75.000 per bulan sebagai pembimbing ekstrakurikuler seni di salah satu sekolah di Sungailiat," ujarnya.
Kebebasan
     Situasi tersebut diakui berat bagi Wanda yang kala itu baru memulai rumah tangga. Namun, ia lebih memilih bertahan pada pilihan itu demi bisa terus berkreasi musik tradisi Bangka. "Secara materi memang tidak banyak bisa didapat dari pilihan ini. Tetapi, ada kepuasan batin meneruskan apa yang dulu dilakukan keluarga saya," ujarnya.
     Pilihan memprioritaskan kebebasan berkreasi dibandingkan dengan motif ekonomi berkali-kali ditempuhnya. Meski punya sanggar seni dan kenal banyak orang penting, pemerintahan maupun swasta, ia tidak mau memanfaatkannya untuk kepentingan di luar seni.
     Untuk kepentingan seni sekalipun, ia akan menolak tawaran yang dirasa menghambat kebebasan berkreasi. "Saya tidak sudi mengemis demi mendapat imbalan dengan menggadaikan kebebasan dan kualitas kreasi," ujarnya.
     Meskipun demikian, ia tetap berharap pemerintah mau lebih menghargai para pelaku seni tradisi. Mereka adalah orang-orang yang menjaga identitas daerah.
     "Kalau mau beri penghargaan, jangan berupa hadiah uang tunai yang akan habis dalam sekejap. Lebih baik beri beasiswa agar seniman bisa memperdalam ilmunya. Bisa untuk kuliah, kursus singkat, atau belajar dari daerah lain," katanya.

Sumber :
- Kompas Cetak
- http://cetak.kompas.com/read/2012/06/14/03443060/penjaga.musik.tari.tradisi.bangka
Editor :
Jodhi Yudono

Kesenian Gambus, Yang Tergerus Zaman


Minggu , 08 Juli 2012 10:46:07

Oleh : Sugandi

"Selat Malaka airnya pun tenang… Selat Malaka airnya pun tenang

Hai tempatnya berlabuh, tempat berlabuh perahu Bugis

Orang yang jauh janganlah dikenang…Hai orang jauh janganlah  dikenang

Kalau dikenang menangis, tentu menangis”

 

KBRN, Jakarta: Sepenggal lirik pantun yang kerap dilantunkan dalam kesenian orkes Dambus <dalam bahasa Bangka> atau Gambus. Pengamat musik  Gambus Wanda Sona Alhamd menjelaskan orkes Gambus merupakan kesenian rakyat yang berasal dari negara Timur Tengah.  Kesenian  tersebut disebar luaskan oleh saudagar pedagang asal Timur Tengah.

 

Hingga kini, kesenian tersebut masih dapat dinikmati oleh masyarakat. “Kesenian ini ada orang menggelar hajatan, dan sebagian  masih suka dengan musik Gambus khususnya di perkampungan,” kata Wanda Sona Alhamd, dalam dialog bersama Pro 3 RRI, Minggu (8/7).

 

Gambus merupakan kesenian rakyat dengan menggunakan alat musik petik seperti mandolin. Gambus dimainkan sambil diiringi gendang.  Lagu-lagu yang dilantunkan dengan lirik keagamaan dan diselingi dengan pantun yang berisikan kerinduan.

 

Orkes gambus kini tersebar luas seperti di Jambi, Bangka Belitung, Jakarta. Orkes Gambus dapat ditemui pada pesta sunatan dan perkawinan.  "Kalau dari segi  permainan, juga memiliki khas sendiri seperti pantun-pantun dinyanyikan dengan spontan . Liriknya berisikan kerinduan yang diungkapkan melaui pantun,” jelasnya.

 

Diakui, seiring dengan perkembangan zaman, musik  Gambus sudah mulai tergerus, khususnya di perkotaan. Namun dia bersyukur masih ada anak-anak muda yang mau menekuni musik Gambus.

 

“Seiring perkembangan zaman khususnya sudah jarang sekali memilih kesenian daerah untuk tampil namun saya bersyukur masih ada mau melestarikan gambus,”.

 

Ketika disinggung mengenai perhatian pemerintah khususnya pemerintah daerah, dia enggan berkomentar. “Malas saya kalau membahas ini (perhatian pemerintah-red).  Selama ini  pemda belum memberikan perhatian,” tegasnya. (Sgd/AKS)

 

 

 

 

 

(Editor : Agus K Supono)

http://rri.co.id/index.php/detailberita/detail/23419#.T_lkVpHkbCN