Lahir: Bangka, 21 November 1982
Istri: Juwita Handayani,SE
Pencapaian:
- Penata musik terbaik Festival
Serumpun Sebalai, 2004, 2005, 2006
- Penata musik tari Pencak Kedidi, dipentaskan di Belanda, 2011
Deretan tanda
penghargaan dipajang di ruang tamu rumahnya di pinggiran Sungailiat,
Bangka. "Pentas luar negeri saya terakhir di Pasar Malam Indonesia 2011
di Belanda. Saya membuat musik untuk tari tradisi Bangka yang
dipentaskan," ujar Nahwand Sona Alhamd.
OLEH KRIS RAZIANTO MADA
http://cetak.kompas.com/read/2012/06/14/03443060/penjaga.musik.tari.tradisi.bangka
Untuk
pentas di Belanda, Wanda, panggilannya, membuat karya baru sebab tari
Pencak Kedidi yang dipentaskan itu nyaris punah. Kala itu hanya tersisa
satu penari dan tidak ada pemusiknya sama sekali.
"Saya meramu ulang
musiknya setelah memperhatikan gerak tari dan mendengarkan penjelasan
penari aslinya,"ujar Wanda, penggiat Sanggar Kite di Sungailiat.
Karyanya juga
melanglang sampai Malaysia dalam Pentas Gendang Nusantara 2001. Dalam
beberapa kali Festival Serumpun Sebalai di Kepulauan Bangka Belitung
(Babel), ia mendapat penghargaan sebagai penata musik tari terbaik.
Wanda juga pernah
unjuk kebolehan di berbagai provinsi di luar Babel. Dari berbagai ajang
itu, ia menyabet beberapa penghargaan. Semua itu. katanya, karena suka
seni tradisi saja.
Wanda juga
menciptakan lagu-lagu berlirik bahasa Bangka. Dia bergiat di Sanggar
Kite yang diasuh ayahnya, Baidjuri Tarza, pemusik dan pencipta lagu
Bangka dan Lawang Budaya. Sedangkan Sanggar Lawang Budaya diasuhnya
bersama sang istri, Juwita Handayani.
Di Lawang Budaya, ia
mengenalkan musik dan tari tradisi kepada sekitar 100 anak asuhnya.
Mereka terdiri dari murid SD dan mahasiswa. "Jangan tanya soal bayaran.
Anak-anak mau rutin berlatih saja sudah membuat saya bersyukur. Saya
hanya berharap seni tradisi Bangka semakin banyak digemari," ujarnya.
Wanda mengaku tidak
enak jika ditanya soal bayaran. Sanggar itu mendapat bantuan Rp 200.000
per bulan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bangka. Tentu dana
sebesar itu tidak cukup untuk sekadar biaya operasional sanggar.
Apalagi, jika disebut sebagai bayaran atas jerih payah Wanda dan
istrinya.
Untuk operasional,
terkadang orangtua asuhnya berganti iuran. Kadang Wanda mencarikan
kesempatan pentas di acara pernikahan. "Masih ada orang Bangka ingin
mendengar musik tradisi di acara pernikahan. Memang belum tentu ada
permintaan pentas setiap bulan. Tetapi, itu salah satu peluang pasar
seni tradisi," ujarnya.
Sejak SD
Sejak kecil, Wanda
berkeinginan mendalami seni tradisi. Sejak duduk di sekolah dasar, ia
sudah mengoleksi penghargaan berbagai bidang seni dari kompetisi
menyanyi, deklamasi, dan berpuisi. "Waktu SMP, saya semakin intensif
menekuni musik tradisi. Keluarga saya kebetulan bergiat di seni
tradisi," ujarnya.
Ayahnya, Baidjuri,
mengajari Wanda memainkan aneka alat musik perkusi gendang ibu dan
gendang anak, rebana, serta jimbe. Wanda juga dilatih memainkan dambus,
sejenis gitar tradisional bangka. Latihan itu menjadi bekalnya di
kemudian hari sebagai pemusik dan pencipta lagu daerah Bangka.
Dengan bekal itu
pula, ia terpilih menjadi anggota rombongan duta budaya Sumatera
Selatan, provinsi induk Bangka, hingga tahun 2000. Ia antara lain
menjadi pemain musik tradisi untuk rombongan yang pentas di Bali. "Waktu
itu saya masih SMA. Namun, komunitas seni di Palembang sudah menerima
saya sebagai bagian dari mereka," ujarnya.
Komunitas seni yang
didukung pemerintah setempat sebenarnya menyediakan fasilitas cukup bagi
Wanda untuk berkarya di Palembang. Setidaknya, ia mendapat biaya
sekolah dari hasil berbagai pentas di Palembang. Ia kerap dilibatkan
dalam berbagai tari dan musik tradisi sebagai wakil Sumsel. "Di
Palembang memang ada kesempatan saya menggali lebih dalam potensi
sebagai pemusik tradisi," ujarnya.
Meskipun demikian,
ia akhirnya memilih kembali ke Bangka setelah terbentuk Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Dari ayahnya, Wanda tahu ada banyak tari
tradisional tak dipentaskan lagi karena ketiadaan pemusik untuk
mengiringinya. Ia juga mendengar tidak banyak orang mau menciptakan lagu
dalam bahasa Bangka.
"Bagi saya, itu peluang besar berkarya. Saya sudah dimodali keterampilan bermusik oleh orangtua," ujarnya.
Sebagai pelaku seni,
ia ditawari menjadi tenaga honorer di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Babel. "Saya terima itu karena berpikir sebagai pegawai dikbud akan
bertugas mengurus seni saja," ujarnya.
Sayang, perkiraan
itu sama sekali berbeda dengan kenyataan. Sebagai pegawai honorer, ia
malah disibukkan dengan tugas yang sama sekali tidak berkaitan dengan
seni.
"Saya malah diminta mengantar surat atau menjemput keluarga atasan. Hampir tidak ada waktu berkreasi," ujarnya.
Suasana itu
berseberangan dengan fakta di Palembang dan harapannya saat kembali ke
Bangka. Di Palembang, ia benar-benar fokus berkarya. Biaya sekolah dan
biaya hidup didapat dari berbagai aktivitas seni. Sebagai anggota
komunitas seni di Palembang, tugasnya memang benar-benar berkarya saja.
"Saya tidak mendapatkan itu setelah pindah ke Bangka," ujarnya.
Karena itu, ia
memutuskan berhenti menjadi pegawai honorer. "Untuk mendapat
penghasilan, saya menjadi pelatih tari di berbagai sekolah. Saya ingat
hanya dibayar Rp 75.000 per bulan sebagai pembimbing ekstrakurikuler
seni di salah satu sekolah di Sungailiat," ujarnya.
Kebebasan
Situasi tersebut
diakui berat bagi Wanda yang kala itu baru memulai rumah tangga. Namun,
ia lebih memilih bertahan pada pilihan itu demi bisa terus berkreasi
musik tradisi Bangka. "Secara materi memang tidak banyak bisa didapat
dari pilihan ini. Tetapi, ada kepuasan batin meneruskan apa yang dulu
dilakukan keluarga saya," ujarnya.
Pilihan
memprioritaskan kebebasan berkreasi dibandingkan dengan motif ekonomi
berkali-kali ditempuhnya. Meski punya sanggar seni dan kenal banyak
orang penting, pemerintahan maupun swasta, ia tidak mau memanfaatkannya
untuk kepentingan di luar seni.
Untuk kepentingan
seni sekalipun, ia akan menolak tawaran yang dirasa menghambat kebebasan
berkreasi. "Saya tidak sudi mengemis demi mendapat imbalan dengan
menggadaikan kebebasan dan kualitas kreasi," ujarnya.
Meskipun demikian,
ia tetap berharap pemerintah mau lebih menghargai para pelaku seni
tradisi. Mereka adalah orang-orang yang menjaga identitas daerah.
"Kalau mau beri
penghargaan, jangan berupa hadiah uang tunai yang akan habis dalam
sekejap. Lebih baik beri beasiswa agar seniman bisa memperdalam ilmunya.
Bisa untuk kuliah, kursus singkat, atau belajar dari daerah lain,"
katanya.
Sumber :
- Kompas Cetak
- http://cetak.kompas.com/read/2012/06/14/03443060/penjaga.musik.tari.tradisi.bangka